Agroforestri Salak Sibetan Jadi Kebanggaan Bali

1 month ago 3
ARTICLE AD BOX
Ketetapan ini dilakukan oleh kelompok penasihat ilmiah Globally Important Agricultural Heritage System (GIAHS) saat menggelar pertemuan pada 19 September 2024 lalu.

Pola tanam salak di Desa Sibetan menganut prinsip agroforestri, sistem pertanian yang memadukan satu tanaman dengan tanaman lainnya. Tanaman salak di Sibetan pada umumnya berdampingan dengan tanaman lain seperti mangga, pisang dan tanaman obat dalam satu lahan.

FAO melihat sistem tanam yang sudah dikembangkan sejak abad ke-14 ini mendukung pelindungan keanekaragaman hayati serta praktik yang berkelanjutan (sustainability). Setiap bagian dari pohon salak bali kerap dimanfaatkan masyarakat untuk berbagai keperluan sehingga menjadikan tanaman tersebut sebagai tanaman tanpa limbah. Hal itu menunjukkan efisiensi sumber daya yang sangat tinggi dan menjadi salah satu alasan mengapa sistem ini dinilai sangat berkelanjutan oleh FAO.

Lanskap pertanaman salak Bali juga dinilai menakjubkan serta memiliki nilai-nilai kebudayaan dan praktik-praktik ketahanan pangan. Sistem ini dikembangkan masyarakat adat dengan menggunakan sistem subak dalam pengelolaan air. Subak sendiri telah terlebih dahulu diakui sebagai warisan budaya dunia (World Cultural Heritage) sejak 2012 lalu oleh UNESCO.

Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Bali Prof I Gede Sedana mengatakan,

sistem pertanian di Bali tidak dapat dilepaskan dengan keagungan budaya yang dibuat, diakui, dan dikembangkan oleh masyarakat Bali sejak ribuan tahun lalu. 

“Pengakuan dunia tersebut merupakan suatu hal yang patut dan pantas diberikan kepada masyarakat Bali, khususnya mereka yang telah menciptakan secara alamiah dan terus menumbuhkembangkannya suatu sistem pertanian pada usaha tani tanaman salaknya,” ujar Prof Sedana, Sabtu (12/10).

Menurutnya, petani sangat menyadari dan memahami makna sistem pertanian yang dilakukannya, di mana tidak semata-mata untuk memproduksi buah salak sebagai komoditas utamanya. Namun, sistem pertanian tanaman salak dilakukan dalam satu kerangka sistem yang saling terkait antara tanaman salak yang memiliki multifungsi, lingkungan alamnya (tanah dan air, serta udara), petani dan keyakinan yang tinggi terhadap sang pencipta, yaitu Ida Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Mahaesa.

“Secara akademik, teknik budidaya pertanian pada tanaman salak yang dilakukan oleh petani merupakan pengejawantahan dari suatu upaya pelestarian lingkungan atau dikenal dengan ekosistem tanaman salak di atas lahan kebunnya dan tanah hutan. Bagi para petani, pelestarian lingkungan alam terutama kebun dan hutan harus diutamakan guna menghindari adanya ‘kemurkaan alam” dalam bentuk bencana alam, seperti longsor,” sebut Rektor Universitas Dwijendra ini.

Oleh karena itu, dengan penerapan konsep kelestarian alam melalui bentuk agroforestri, para petani dan masyarakat sekitarnya dapat mewujudkan sistem pertanian berkelanjutan di wilayahnya. Kondisi tersebut diindikasikan dari terjaganya keanekaragaman hayati (biodiversity), terpeliharanya pohon kayu, pemanfaatan lahan untuk tanaman yang bernilai ekonomis (salak) dan ekologis, serta spiritual, dan juga terwujudnya ketahanan pangan.

Penerapan sistem agroforestri salak, kata Prof Sedana, memiliki  nilai-nilai yang universal dan menjiwai filosofi kehidupan masyarakat Bali, seperti desa adat, subak, subak abian dan organisasi tradisional lainnya. Konsep keharmonisan dengan alam sangat melekat dalam pengembangan tanaman salak, seperti penyesuaian kondisi agroklimat, flora dan fauna yang ada, termasuk penciptaan udara yang sehat dan segar, sehingga tanaman salak yang diusahakan dan dikembangkan tidak semata-mata bermanfaat untuk memperoleh buah salaknya.

Bahkan saat ini, pengembangan tanaman salak memberikan efek domino yang tinggi terhadap pengembangan sistem agribisnis dan agrowisata di kawasan perdesaan yang mendorong peningkatan kesempatan berusaha/bekerja dan pendapatan petani serta masyarakat lainnya.

“Tumbuhnya industri pertanian atau agroindustri baik agroindustri hulu maupun hilir menjadikan sistem agroforestri salak menjadi bukti nyata untuk semakin dikembangkan secara berkelanjutan,” ujar guru besar asal Buleleng.

Prof Sedana berharap agar masyarakat lokal tetap didorong untuk memperkuat sistem budaya pertanian tanaman salak melalui penggunaan teknologi yang ramah lingkungan seiring dengan tetap menjaga keharmonisan dan keseimbangan di antara manusia, lingkungan alam dan Tuhan.

Namun, petani salak menghadapi tantangan yang tak enteng.  Harga yang merosot tajam saat panen raya masih jadi salah satu momok yang kerap dihadapi petani salak di Karangasem. Harga bisa jatuh Rp 1.000 per kilogram. Menurut Prof Sedana, keberlanjutan dalam agroforestri salak juga sangat memerlukan adanya sinergi dan kegiatan yang terintegrasi dengan industri hilir, yaitu industri pengolahan, industri penyimpanan, industri kemasan dan lain sebagainya termasuk jasa penunjang terkait dengan produk olahan salak.

Pemerintah dan juga pengusaha atau investor sangat dibutuhkan untuk memberikan jaminan kepada para petani salak, terutama pada saat musim panen raya. Kelebihan produk yang ada selanjutnya dapat diolah guna memberikan nilai tambah, dan disertai dengan berbagai kreatifitas olahan produk yang berbahan baku buah salak.

Di samping itu, industri hilir yang dibutuhkan juga adalah pemasaran baik dalam aspek prasarana dan sarana serta infrastruktur lainnya. “Pemerintah dapat memfasilitasi terbangunnya sistem pemasaran yang lancar, misalnya melalui kemitraan usaha antara petani/kelompok petani salak dengan pengusaha (industri pengolahan, pemasaran, dan lain sebagainya) serta aktor penunjang lainnya, seperti lembaga keuangan, lembaga penyuluhan dan lain sebagainya,” ujar Prof Sedana.7ad
Read Entire Article